Pengaturan Desa dari Waktu ke Waktu

Abstract

Abstract

This paper discuss the village regulations, since the implementation of Act Nomor 1/45 until Act. Nomor 32/2004. Through conducting literature study shows that such regu lations, the position of the village is strong at one moment, but at other moments it is marginalized. For example, when Act Nomor 22/48, Act Nomor 1/57 and Act Nomor 19/65 were put into effect, the village was placed in a strong position as an autonomous region, and even placed as a level III region. But when Act Nomor 5/74 was imple mented, the position of the village was completely marginalized and the name of village was standardized as â€desaâ€. This caused the other terms for villages outside Java like â€nagariâ€, â€margaâ€, â€gampongâ€, â€kuriaâ€, etc, to be â€swept awayâ€, especially the villages where the customs and traditions were still strong. This Act also regulated the relations hip between different levels of region hierarchically, including the village. In 1998, when reformation happened, Act Nomor 22/99 was put into effect and later replaced by Act. Nomor 32/2004, which puts the village back in a strong position by taking into account the diversity of villages in Indonesia. In addition, the region levels vary, sometimes it con sists of 3 levels and at some other time it consists of 2 levels.

Keywords: village autonomy, village uniformity and diversity

Abstrak

Tulisan ini membahas pengaturan desa sejak UU Nomor 1/45 sampai dengan UU No mor 32/2004. Dengan melalui studi kepustakaan diketahui bahwa pengaturan tersebut, ternyata posisi desa pada saat tertentu kuat tetapi pada saat yang lain terpinggirkan. Se bagai contoh, pada saat berlakunya UU Nomor 22/48, UU Nomor 22/48, UU Nomor 1/57 dan UU Nomor 19/65, desa ditempatkan pada posisi yang kuat sebagai daerah otonom, bahkan ditempatkan sebagai Daerah Tingkat III. Sedangkan pada saat berlaku nya UU Nomor 5/74 posisi desa benarbenar terpinggirkan dan diseragamkan namanya menjadi â€desaâ€, sehingga keadaan ini menyebabkan desadesa di luar Jawa dengan se butan lain seperti, nagari, marga, gampong, kuria dan lainlain mengalami kehancuran, terutama desa atau sebutan lainnya yang adat istiadatnya masih kuat. UndangUndang ini juga mengatur secara hirarkis hubungan antar tingkatan daerah, termasuk desa. Pada ta hun 1998, saat terjadi reformasi, satu tahun kemudian dikeluarkan UU Nomor 22/1999 dan kemudian diganti dengan UU Nomor 32/2004 yang menempatkan desa pada po sisi yang kuat lagi dengan memperhatikan keanekaragaman desa yang ada di Indonesia. Selain itu, dari perjalanan pengaturan desa tersebut, tingkatan daerah juga berbedabeda, adakalanya terdiri dari 3 (tiga) tingkatan dan pada saat yang lain terdiri dari 2 (dua) ting katan.

Kata-kata Kunci: otonomi desa, penyeragaman dan keanekaragaman desa 

Requires Subscription PDF